Jalan Lingkar Pulau Simeulue
Salah Satu destinasi pantai wisata
Surfing sebagai daya tarik wisata bahari Pulau Simeulue
Peternakan, perikanan, perkebunan adalah mata pencaharian masyarakat sebagai penggerak roda ekonomi
dekorasi pelaminan sebagai salah satu simbol adat di Pulau Simeulue
Nama Simeulue memiliki sejarah panjang dengan latar historis yang unik. Pada abad 17 Simeulue dikenal dengan nama Pulo U (Pulau Kelapa) yang merupakan wilayah kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Kemudian Teungku Khalilullah, seorang ulama yang diutus oleh Sultan Iskandar Muda ke Pulo U untuk menyebarkan ajaran Islam mengganti nama Pulo U menjadi Pulau Simeulue yang diambil dari nama istrinya yaitu “Putri Si Meulur.”
A. Sejarah Sosiokultural Simeulue
Sejarah Simeulue tidak terlepas dari sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Islam memasuki daerah ini selama abad ke-17 ketika wilayah ini berada di bawah kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam. Pada periode ini, sejarah orang Simeulue tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Islam di Simeulue pertama sekali dibawa oleh seorang ulama yang bernama Khalilullah, yang di Simeulue dikenal dengan gelar Teungku Di Ujung (Roesli, 2017).
Khalilullah yang berasal dari Minangkabau melakukan perjalanan menuju Mekkah untuk menunaikan haji, dalam perjalanannya Khalilullah singgah di Aceh dan mengunjungi Istana Kesultanan Aceh Darusalam. Beliau berjumpa dengan Sultan Aceh kala itu Sultan Ali Mughayat Syah. Dalam silaturahminya, Sultan Aceh menyarankan kepada Khalilullah agar niat melaksanakan hajinya diganti dengan mengislamkan sebuah pulau yang bernama Pulo U. Khalilullah menerima saran Sultan Aceh tersebut namun ia tidak mengetahui jalan menuju Pulo U tersebut. Sultan Aceh langsung memerintahkan seorang gadis bernama Meulur yang berasal dari Pulo U untuk memberi petunjuk jalan, karena dikhawatirkan akan menyebabkan fitnah, maka Teungku Khalilullah dan Putri Meulur dinikahkan (Sanny, 2007).
Hal yang menyebabkan Sultan Ali Mughayat Syah memerintahkan Teungku Khalilullah untuk mengislamkan Pulo U tersebut karena pulau tersebut telah dikuasai oleh seseorang yang bernama Songsongbulu dan menyebarkan ajaran sesat. Ketika Teungku Khalilullah dan Putri Meulur tiba di Pulo U, terjadi peperangan antara Songsongbulu melawan Teungku Khalilullah. Namun peperangan tersebut bukanlah perang bersenjata, melainkan perang ilmu sihir (Sanny, 2007). Kedua belah pihak melaksanakan perjanjian jika salah satu dari mereka menang akan menguasai pulau itu dan yang kalah angkat kaki dari pulau tersebut. Peperangan yang terbilang sangat sederhana, yaitu dengan memasak telur di dalam lautan. Teungku Khalilullah menang dan mengusir Songsongbulu dari Pulo U, dan mengislamkan seluruh masyarakat yang ada di pulau, pada masa kekuasaannya Teungku Khalilullah mengganti nama Pulo U menjadi Pulau Simeulue yang diambil dari nama istrinya yaitu “Putri Si Meulur” (Sanny, 2007).
Sultan Mahmudsyah II, yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam dari tahun 1767 hingga 1787, membawa delapan batu ke Simeulue. Orang Simeulue menyebut batu itu dengan Sandi Salapan, yang berarti delapan Pilar. Masjid pertama dibangun di desa Salur menggunakan batu sebagai pilar. Masjid tersebut terdampak tsunami tahun 1907 dan 2004. Salah satu batu hilang ketika tsunami 1907 menghancurkan masjid. Di bawah pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam, kemudian pulau ini dibagi menjadi lima kerajaan kecil yang dipimpin oleh masing-masing seorang raja. Kelima kerajaan tersebut adalah Teupah, Kerajaan Simeulue, Kerajaan Along, Kerajaan Lekon, dan Kerajaan Sigulai (Rahman, 2017).
Belanda menguasai Pulau Simeulue sejak tahun 1901, setelah berhasil melumpuhkan sebagian besar perlawanan rakyat Aceh. Belanda membentuk pemerintahan di Pulau Simeulue yang popular dengan sebutan Onderafdeeling Simeulue yang berkedudukan di Sinabang. Daerah ini dipimpin oleh seorang Controleur dan dibagi menjadi lima landschap. Kelima landschap tersebut adalah Landschap Tapah, Simulul, Leukon dan Sigulai. Setiap Landschap dipimpin oleh seorang Selfbestiur. Setiap Selfbestiur mempunyai hak otonom atas wilayah landschapnya dan tunduk kepada Controleur di Sinabang (Sanny, 2007).
Dengan menyerahnya Belanda kepada Jepang maka berakhir pula kekuasaan Belanda di Pulau Simeulue. Saat Jepang masuk pada 1942, Pulau Simeulue juga menjadi incaran pasukan Dai Nippon. Pada bulan April 1942 tentara Jepang di bawah pimpinan Letnan Satu Hego tiba di Simeulue yang disambut dengan tanpa perlawanan dari rakyat Simeulue. Tidak ada perubahan selama Jepang menancapkan kakinya di Simeulue. Mereka hanya mengganti istilah-istilah yang disesuaikan dengan istilah Jepang, seperti Onderafdeeling diganti menjadi Gun, Controleur diganti menjadi Gunco sedangkan landschap diganti dengan son yang dikepalai oleh seorang Sunco. Pada masa itu Jepang memposisikan Simeulue sebagai salah satu pulau strategis untuk pertahanan, karena itu Jepang membangun system pertahanan militer di Pulau Simeulue dan memberi pelatihan kemiliteran untuk penduduk lokal (Roesli, 2017).
Pada masa Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, Simeulue berubah menjadi kewedanaan yang dipimpin oleh seorang wedana dan berkedudukan di Sinabang. Kewedanaan Simeulue saat itu berada di bawah binaan Bupati Aceh Barat. Saat itu, pemerintah juga merampingkan lima wilayah landschap menjadi empat kenegerian. Istilah kenegerian ini kemudian berganti menjadi kecamatan. Ketika Aceh dilanda konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia dari tahun 1976 sampai 2005, Pulau Simeulue relatif aman dari konflik bersenjata yang pernah melanda Aceh hingga 32 tahun tersebut (Nashruddin, 2015).
Roesli, M.R. (2017). Smong dan Kearifan Lokal Masyarakat Simeulue. Banda Aceh: PT. Aceh Media Grafika
Sanny, T.A. (2007). The Smong Wave from Simeulue: Awakening and Changing. Simeulue: Pemerintah Kabupaten Simeulue